Wednesday, May 30, 2007

Menjemput Masa Depan dengan Al-Quran

Oleh KH Maman Imanulhaq Faqieh

Salah satu tujuan pendidikan adalah menumbuhkan kesadaran tentang hakikat kehidupan. Kesadaran merupakan sesuatu yang penting dimiliki para pelajar, terutama di tengah “kultur instant” dalam bingkai budaya yang kapitalistik, materialistik, konsumeristik, dan hedonistik yang terus mewabah di masyarakat. Banyak orang ingin cepat populer tanpa berusaha dan bersusah-payah, kudu sohor najan tekor. Banyak orang berusaha menjadi kaya dengan menjual narkoba bahkan negara. Mereka kebelet berkuasa meskipun dengan cara merampok dan menipu rakyat. Di tengah masyarakat ada suami yang menjual istrinya, ada istri yang menyuruh suaminya melakukan korupsi, dan ada orangtua yang “membunuh” anaknya sendiri. Kesadaran yang tumbuh dari dalam akan menghentikan proses “Pembusukan berbagai sendi kehidupan” yang diakibatkan degradasi moral.

Persoalan moral juga diperparah oleh tayangan media elektronik yang dikuasai kapitalisme global yang mengancam moralitas manusia dan eksistensi agama-agama. Itulah yang disebut Jean Baudrillard sebagai hypercapitalist mode sebagai modus kapitalisme yang sangat canggih dan tidak mudah dihadapi. Maka kita sebaiknya punya kesadaran dan tanggung jawab untuk menularkan “virus kegairahan” berkreatifitas, berproses, dan beretos kerja. Serta terus menggali kearifan-kearifan lokal yang dapat memperkaya apresiasi dan pemahaman terhadap kebudayaan bangsa sebagai pegangan dalam menghadapi budaya global saat ini. Bukankah Nabi Yunus dihukum oleh Allah dalam perut ikan paus yang gelap selama empat puluh hari lamanya (QS 21: 187) karena gagal memahami kultur umat yang menjadi obyek dakwahnya dan putus asa lalu lari dari tanggung jawab? .

Al-Quran tidak dimulai secara kronologis seperti Kitab Perjanjian Lama, atau secara genealogis seperti Kitab Perjanjian Baru, tetapi berbicara langsung soal; membaca, mengajar, memahami dan menulis. Iqra merupakan perintah kepada umat manusia sepanjang sejarah kemanusiaan sebagai kunci pembuka kebahagiaan dunyawi dan ukhrowi. Iqra, yang bermakna asal “menghimpun”, mempunyai arti menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya, tidak mengharuskan adanya satu teks yang dibaca, atau harus diucapkan sehingga terdengar oleh yang lain. Karenanya, objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau baik bacaan suci yang bersumber dari Allah (Quraniyah) maupun yang menyangkut bacaan secara umum serta penelaahan terhadap segala fenomena alam raya, masyarakat dan manusia itu sendiri. Perintah membaca dikaitkan dengan keharusan adanya keikhlasan serta kecerdasan dalam memilih dan memilah bacaan-bacaan yang mampu membentuk kepribadian yang mempunyai kekhusyuan berdzikir dan kecerdasan berfikir (QS.3: 190). Membaca adalah syarat utama membangun sebuah peradaban. Berbagai ilmu yang menjadi pilar peradaban, baik yang kasby (acquired knowledge) maupun yang laduny (perenial), tidak dapat dicapai tanpa melakukan qiroat (membaca).

Setelah melakukan pembacaan, al-Qur’an memerintahkan manusia untuk menyampaikan petunjuk, menyucikan jiwa dan mengajarkan manusia (Q.S 67:2). Aktifitas yang dimaksud dalam kandungan ayat tersebut merupakan proses pendidikan yang akan membentuk generasi robbany berdasarkan wahyu pertama yang diterima Rasulallah SAW. Inilah yang ditekankan oleh al-Qur’an yaitu, betapa pentingnya membaca dan mengajarkan apa yang dia baca tentang kebenaran dan kesabaran (Q.S al-Ashr :4). Penekanan ini berlaku seumur hidup, seperti bunyi hadits Nabi , “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat”. Ungkapan yang mendahului life long education yang dipopulerkan Paul Lengrand dalam buku An Introduction to Lifelong Education.

Al-Quran sebagai wahyu Allah mengandung pengertian pemberian Informasi secara rahasia. Hal itu hanya bisa difahami oleh Allah sebagi pemberi dan Jibril sebagai penerima. Hal inilah yang membuka peluang untuk menafsirkan al-Quran dengan ragam penafsiran, disamping dimensi kemanusiaan yang dimiliki al-Qur’an itu sendiri. Menurut Ibnu Arabi, setiap teks al-Quran memiliki tujuh tingkat pengertian yang berbeda akibat perbedaan kapasitas daya tangkap yang berbeda. Karena itu keragaman pemahaman keagamaan adalah sesuatu yang wajar dan berharga, karena merupakan cermin wajah Islam rahmatan lil’alamin yang aspiratif, inklusiv dan humanis, selama tidak menyentuh prinsip-prinsip dasar syariah. Tetapi ini tidak berarti, penafsiran liberal tanpa dasar keilmuan yang jelas serta hanya berlindung dibalik “ tradisi akademik ilmiah” boleh seenaknya menafsirkan al-Quran dengan penafsiran yang bertujuan; mengotori otentitas agama, memicu kontroversi dan hanya memamerkan kecanggihan berfikir dengan tujuan mendiskreditkan para ulama”. Bila itu dilakukan maka dianggap telah memesan satu tempat di neraka seperti sabda Nabi yang diriwayatkan Imam at-Tirmidzi yang tercantum dalam kitab Kifayah Al-ahyar karya Imam Taqiyyuddin ad-Dimasqi.

Seorang ahli Islam asal Denmark, J. Pedersen, dalam bukunya The Arabic Book, mengungkapkan betapa semangat keagamaan (ajaran Islam tentang Ilmu) telah menggerakkan kaum muslim terdahulu untuk melakukan penulisan, pendiktean dan penyalinan karya-karya tulis secara manual. Menurut beberapa ahli, dengan spirit keagamaan itulah salah seorang pengarang abad pertengahan Islam yang sangat terkenal, sejarawan Ath-Thabary, menulis empat puluh halaman perhari selama empat puluh tahun. Gairah penulisan terlihat semarak; mulai komentar-komentar tentang al-Quran, koleksi hadits, aneka ragan kesusastraan kuno, puisi, literatur sejarah, biografi-biografi, laporan perjalanan dan ditambah penerjemahan berbagai disiplin ilmu dari bahasa Yunani dan Persia yang banyak dilakukan di akademi-akademi pada zaman Khalifah Al-Mamun. Faktor terpenting yang mengkondisikan hal itu adalah faktor bahasa arab, yang merupakan bahasa al-Quran, bahasa Nabi dan bahasa ahli surga. Kalau umat Islam ingin kembali meraih kejayaan seperti masa lampau, maka tradisi membaca, mengajar, memahami dan menulis, merupakan “motor penggerak” yang harus kembali dilakukan dan ditekuni kaum muslimin. Karena hal itu merupakan amanat “wahyu pertama” yang diturunkan Allah pada Rasul-Nya di bulan suci Ramadhan dan merupakan entry poin untuk memasuki seluruh ruang serta waktu, meraksuki pola kebudayaan, mekanisme ekonomi, sistem politik dan seluruh aspek kehidupan yang berangkat dari ruh al-Quran sebagai sumber pandangan hidup, way of life.1

1 comment:

Unknown said...

a mohon ijinnya BPK Oi Majalengka ikut posting artikelnya