Wednesday, May 30, 2007

Do'a: Keajaiban Mantra Ilahi

Oleh KH.Maman Imanulhaq Faqieh

Salah satu dari keistimewaan Ramadhan adalah moment pengijabahan doa. Rangkaian ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan puasa-pun(QS.Al-Baqarah:183-185) diakhiri dengan firman Allah “ maka bila hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku sangat dekat, Aku akan mengijabah doa orang yang berdo’a bila ia berdoa” . Dalam hadits Nabi disebutkan bahwa Ramadhan adalah bulan berkumpulnya segala kebaikan dan terkabulnya segala permintaan(doa). Sejarah mencatat keajaiban-keajaiban yang terjadi, saat terlepasnya hamba-hamba dari mara bahaya dan kenyataan hidup yang membuatnya tak berdaya , semua berkat rahmat Allah yang terketuk lewat panjatan doa. Kepanikan Daud saat tertekan Jalut, Kegelisahan Zakaria ketika belum dikaruniakan putra, ketakberdayaan Ibrahim ketika berada dalam kobaran api Namrudz, keterpojokan Musa di tepi laut merah saat ujung tombak Fir’aun siap merobeknya, semuanya bisa teratasi dengan keajaiban mantera Ilahi yang dipanjatkan para utusan Allah tersebut.

Disatu sisi, inilah bukti bahwa keperkasan seorang hamba, seperti para Nabi yang teruji keimanan, kesabaran dan kecerdasannya(‘ulil ‘azmi), sangat terbatas dan takberdaya tampa pertolongan Allah. Tetapi di sisi lain, ini membuktikan bahwa doa-doa yang mereka panjatkan adalah bagian penting serta selaras dengan kerja keras, ikhtiar, ketekunan dan perjuangan yang mereka lakukan. Pemaknaan doa yang hanya terbatas pada teks suci tampa perjuangan yang berarti, akan melahirkan sikap pasif, lari dari tanggung jawab sosial, dan tidak mau menanggung resiko serta takut menghadapi tantangan serta bahaya. Interpretasi doa sebagai obat penenanglah yang justru mewabah saat ini, kebanyakan manusia memilih berdoa dari pada mengerahkan kemampuan berfikir, berusaha keras, berjuang dengan serius dan tekun serta bersabar dalam memecahkan masalah serta kesulitan yang dihadapi dalam kehidupannya. Kalimat “jika ia berdo’a” dalam ayat 185 surat al-Baqarah diatas, ditafsirkan oleh sebagian mufassir dengan keseriusan memperjuangkan nilai doa dalam kehidupannya serta memenuhi syarat –syarat berdoa. Menurut Syaikh Al-Haddad, diantara syarat-syarat hamba dalam berdoa adalah ketulusan niat yang berpengaruh pada makna perbuatan, dan menghiasi diri dengan moralitas yang baik, sehingga mampu mengoptimalkan diri dalam taqarrub (mendekatkan) diri kepada Allah dengan seluruh aktivitas kehidupannya.

Doa adalah penyokong kekuatan manusia dalam melakukan usaha-usaha positif dan konstruktif sebagai bagian dari tanggung jawab individu dan sosial dalam melakukan pembebasan terhadap problem kemanusiaan. Terkabulnya sebuah doa tergantung pada keseriusan seseorang dalam berdoa. Itu dibuktikan dengan persiapan yang matang, logis, cerdas serta teguh memegang prinsip-prinsip kehidupan seperti kesetian terhadap kebenaran, keadilan, kejujuran serta kasih sayang selalu dipegangnya denga erat. Bila semua itu ditinggalkan maka jangan heran bila seorang filosof dan ilmuwan besar Perancis pemenang Nobel, Alexis Carrel, mengatakan “ manakala tanda-tanda doa dan tradisi beribadah mengalami kemerosotan dan diabaikan oleh suatu bangsa atau masyarakat, maka berarti mereka sedang mempersiapkan benih-benih dekadensi moral, disintregrasi, memudarnya identitas bangsa serta merosotnya kekuatan fisik dan sosial kemasyarakatan”. Apa yang dikatakan Alexis Carrel tersebut sangat penting dijadikan renungan(al-ibroh) bagi bangsa ini, karena kesemarakan kegiatan keagamaan, kemeriahan acara Ramadhan serta kekompakan masyarakat dalam doa-doa bersama, istighotsah maupun dzikir akbar, ternyata tidak mengurangi angka kejahatan yang bisa dilihat dengan semaraknya cara-acara yang menayngkan pelaku kriminalitas seperti Buser, Sergap dan Patroli Tidak juga merubah sikap pejabat dalam melaksanakan kebijakannya yang korup seperti kasus kebocoran keuangan Negara, termasuk penerbitan L/C BNI sebesar 1,7 triliyun. Serta tidak berpengaruh pada pembenahan sikap keberagamaan umat yang masih menyukai kekerasan, kemunafikan serta keserakahan, indikasi kearah itu terlihat dari gencarnya penyelenggaran program haji dan umrah dan banyaknya peziarah yang sekedar jadi wisatawan yang ingin tahu dan mencari suasana baru dibanding berziarah dengn penuh kerinduan dan keikhlasan. Bangsa yang kehilangan harga diri, martabat bahkan identitasnya ini, sudah saat nya untuk kembali memperbaiki etika dan tradisi berdoa serta beribadahnya agar menemukan cinta Allah.

Doa yang mengandung pengertian memohon, meminta dan memanggil Allah ini, sesungguhnya merupakan sebuah kebutuhn transenden seorang hamba dalam mengarungi kehidupan. Karenanya alangkah baiknya, bila diperhatikan etika-etika dalam berdoa serta the lesson moral yang terkandung didalamnya, diantaranya adalah:

1. Memilih moment (waktu) yang tepat dalam berdoa ; seperti hari arafah, bulan Ramadhan, malam lailah al-qodar, hari Jum’at, waktu sahur atau di tengah keheningan malam. Ini mengajarkan tentang pentingnya memanfaatkan waktu, tidak terlena dengan perbuatan yang sia-sia serta mampu mengambil moment yang tepat untuk melakukan intropeksi(muhasabah), pembenahan sikap dan meraih prestasi dalam kompetisi kehidupan global. Sekali berhenti, jumud, beku dan tidak mengambil kesempatan berharga maka selamanya akan mati, tertindas dan menyerah kalah. Mekanisme pengaruh doa akan sangat terasa bila kita melakukan usaha dan doa yang terus-menerus, intensif, tulus, agresif, sungguh-sungguh dan penuh keyakinan, Rasulullah bersabda “ mintalah kepada-Nya dengan sungguh-sungguh seperti seorang bayi yang minta sesuatu pada ibunya”.

2. Khusyu’ dan Tadharu’ dalam berdoa, hal ini berarti kerendahan hati dan kesadaran akan kelemahan diri akan melahirkan sikap lemah lembut pada sesama, mau untuk terus belajar pada yang lain serta mau mengerti keadaan orang lain. Inilah modal utama terciptanya sebuah interaksi sosial yang harmonis, seperti yang diajarkan Allah dalam surat Al-Imron 195. dalam ayat tersebut terkandung tuntunan dalam berinteraksi sosial ; Satu, anjuran bersikap lemah lembut pada sesama. Dua, larangan bermuka masam, berhati beku, berkepala batu dengan memperlihatkan sikap represip, tindakan radikal dan tidak mau dikritik. Tiga, belajarlah memahami, mengerti dan memaapkan orang lain, karena Allah tidak pernah bosan memaafkan kesembronoan kita. Empat, memohonkan ampunan Allah bagi orang yang dianggap berbuat kesalahan, serta menunjukan kesalahan dengan solusi pemecahannya. Seorang yang telah ada di tepi jurang harus diberi uluran tangan bukan dijongklokan ke dalam jurang tersebut. Terakhir, bermusyawarahlah dalam segala urusan, berdebatlah dengan jernih dan cerdas serta bergabunglah dalam dialogue of truth, karena tahkim, penghujatan, takfir dan pencekalan adalah perbuatan naïf dan bertolak belakang dengan nilai spiritualitas doa.

3. Memilih doa yang sederhana serta bersuara lembut, pemaknaan akan etika ini akan menanamkan sikap sederhana, jujur dan amanah. Kehidupannya selalu dihiasi keinginan luhur dan mulia tampa mengada-mengada apalagi penuh kepalsuan. Serta diungkapkan denga cara yang santun tidak membual apalagi menipu orang lain dengan ngumbar janji dan omong kosong. Karena bila itu dilakukan, doa-doanya akan menembus ruang hampa dan dianggap mempermainkan serta menipu Allah. Padahal “ mereka menyangka telah menipu Allah, padahal tidaklah mereka melakukan penipuan kecuali diri mereka sendiri yang tertipu dan mereka tidak merasakannya” demikian Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 9.

No comments: