Wednesday, May 30, 2007

Wajah Cerah Majalengka; dari Talaga hingga Bandara

Oleh KH Maman Imanulhaq Faqieh

Bagai sebuah pohon, Majalengka --sebuah Kabupaten kecil di bagian Timur Propinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan enam Kabupaten; Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Indramayu, Cirebon dan Kuningan, tumbuh dengan akar sejarah yang panjang, berproses menjadi sebuah batang dengan cabang, ranting dan dedaunan yang rindang. Dalam konsep Al-Quran, sebuah kehidupan yang sesuai dengan fitrah Allah adalah kehidupan bagai kalimah thoyyibah; “ akarnya menghujam ke bumi, cabangnya (menjulang) ke langit ” (QS.14:24).

Perjalanan sejarah Majalengka, bermula di Talaga abad XIII Masehi, saat seorang Raja keturunan Ratu Galuh Ciamis, Batara Gunung Picung mendirikan sebuah Kerajaan Hindu, hingga pemerintahan Hj. Tutty Hayati Anwar, SH, M.Si, bupati saat ini. Dan akan terus menembus lorong masa depan dengan segala kemungkinan. Terlepas dari kotroversi yang melingkupinya, sejarah Majalengka sesungguhnya telah menunjukan pergumulan yang sangat menarik. Dimana manusia selalu melewati pergulatan hidup yang keras dan mengalami warna-warni kehidupan: suka-duka, pahit-manis, senang-sengsara dan seterusnya. Di daerah ini, di samping lahir banyak pejuang kemanusiaan yang terus melakukan perubahan serta mengkritisi segala bentuk prilaku yang tidak manusiawi dan tidak beradab yang mencederai martabat kemanusian, seperti tokoh Bagus Rangin dengan pasukan berkekuatan ± 10.000 orang dari Bantarjati yang bertempur melawan Belanda tahun 1805 di daerah Pangumbahan. Hadir juga sosok-sosok yang berlaku sewenang-wenang, tidak adil dan menindas. Kesemuanya, menjadi bahan renungan bagi masyarakat Majalengka yang sedang larut dalam gempita Hari Jadi Majalengka ke 515 sebagai upaya —meminjam istilah Goenawan Mohamad, “ mengukuhkan ikatan batin dengan kehidupan”.

Hal pertama, yang perlu menjadi ibrah (the lesson moral) bagi masyarakat Majalengka sekarang adalah kualitas spiritual para pemimpin yang pernah memerintah di daerah ini. Mengambil sebuah kesimpulan diskusi yang mengambil tema “ Does Spirituality Drive Succes, apakah spiritualitas bisa membuat sukses?”, di Harvard Bussines School, April 2002, bahwa: spiritualisme terbukti mampu membawa seseorang menjadi sukses dan memilki powerful leader. Integritas (kejujuran), Energi (semangat), Inspirasi (penuh ide), Bijaksana (Wisdom) dan Keberanian (Courageous) adalah karakter-karakter yang dimilki para tokoh yang pernah hadir dalam perjalanan sejarah derah yang mempunyai moto” Sindang kasih Sugih Mukti, Majalengka bagaja Raharja” ini. Ini menjadi modal untuk transformasi yang mereka lakukan. Ambil misal, masa pemerintahan Batara Gunung Picung, dibangun prasarana jalan sepanjang lebih 25 Km, tepatnya Talaga - Salawangi di daerah Cakrabuana dan perbaikan pengairan di Cigowong yang meliputi saluran-saluran pengairan semuanya di daerah Cikijing. Selanjutnya, Pandita Perabu Darma Suci, seorang yang sangat dikenal di Kerajaan Pajajaran, Jawa Tengah, Jayakarta sampai daerah Sumatera, memerintah di Talaga. Dalam seni pantun banyak diceritakan tentang kunjungan tamu-tamu tersebut dari kerajaan tetangga ke Talaga. Peninggalan yang masih ada dari kerajaan ini antara lain Benda Perunggu, Gong, Harnas atau Baju Besi. Ada pula, Sunan Talaga Manggung, di masa Pemerintahannya kehidupan beragama (Hindu), pertanian, pengairan, kerajinan serta kesenian rakyat. Hubungan baik terjalin dengan kerajaan-kerajaan tetangga maupun kerajaan yang jauh, seperti misalnya dengan Kerajaan Majapahit, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Cirebon maupun Kerajaan Sriwijaya. Pada masa pemerintahan Prabu Pucuk Umum Agama Islam sudah berkembang dengan pesat yang berpengaruh besar ke daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja, Rajagaluh dan Majalengka. Prabu Pucuk Umum adalah Raja Talaga ke-2 yang memeluk Agama Islam Hubungan pemerintahan Talaga dengan Cirebon maupun Kerajaan Pajajaran baik sekali. Hal terpenting pada masa pemerintahan Ratu Sunyalarang adalah Talaga menjadi pusat perdagangan di sebelah Selatan. Pangeran Arya Secanata yang memerintah di saat pengaruh V.O.C. sangat terasa, hingga pada tahun-tahun tersebut pemerintahan di Talaga diharuskan pindah oleh V.O.C. ke Majalengka. Karena hal ini, terjadilah penolakan sehingga terjadi perlawanan dari rakyat Talaga. Peninggalan masa tersebut masih terdapat di museum Talaga berupa pistol dan meriam. Sekitar tahun 1480 (pertengahan abad XV) Mesehi, di Desa Sindangkasih 3 Km dari Kota Majalengka ke Selatan, bersemayam Ratu bernama Nyi Rambut Kasih keturunan Prabu Sliliwangi yang masih teguh memeluk Agama Hindu. Ratu masih bersaudara dengan Rarasantang, Kiansantang dan Walangsungsang, kesemuanya telah masuk Agama Islam. daerahnya meliputi Sindangkasih, Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang, Cigasong, Babakanjawa, Munjul dan Cijati. Pemerintahannya sangat baik terutama masalah pertanian yang beliau perhatikan dan juga pengairan dari Beledug-Cicurug-Munjul dibuatnya secara teratur.

Para tokoh tersebut, memperlihatkan Keseriusan, kejujuran keberanian dan keikhlasan dalam melakukan transformasi di segala bidang kehidupan. Yang hal itu sudah merupakan sesuatu yang sangat sulit dipraktikan para pemimpin sekarang. Kondisi ketidak menentuan moral (indeterminancy moral) yang terjadi di banyak tempat di negri ini, sesungguhnya, diakibatkan lunturnya nilai-nilai diatas. Kebijakan public yang lahir dari para pemimpin yang memiliki spiritulisme, seperti para tokoh tersebut, akan melahirkan kebijakan public (public policy) bermuatan spirit moralitas yang berpihak pada kemaslahatan masyarakat.

Hal Kedua, sesuai dengan Visi Majalengka yang menekankan”….. berbasis Masyarakat Agamis dan Partisipatif guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat…..” , sejarah menunjukkan, Islam masuk ke daerah ini penuh dengan kedamaian dan membawa semangat persaudaraan dan perubahan. Hal ini sesuai dengan tujuan syariah Islam (maqosid syariah) yang dibawa Nabi Muhammad SAW yakni, menegakkan nilai dan prinsip keadilan sosial, kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan lokal. Kira-kira tahun 1485 putera Raden Rangga Mantri yang bernama Dalem Panungtung diperintahkan menjadi Dalem di Majalengka, yang mana membawa akibat pemerintahan Nyi Rambut Kasih terjepit oleh pengaruh Agama Islam. Kemudian lagi pada tahun 1489 utusan Cirebon, Pangeran Muhammad dan istrinya Siti Armilah atau Gedeng Badori diperintahkan untuk mendatangi Nyi Rambut Kasih dengan maksud agar Ratu maupun Kerajaan Sindangkasih masuk Islam dan Kerajaan Sindangkasih masuk kawasan ke Kesultanan Cirebon. Kerajaan Sindangkasih taslim (menyerah) dan masuk Islam, sedangkan Nyi Rambut Kasih tetap memeluk agama Hindu. Penyebaran Agama Islam di daerah Majalengka terutama didahului dengan masuknya para Bupati kepada agama itu. Kemudian dibantu oleh penyebar-penyebar lain antaranya : Dalem Sukahurang atau Syech Abdul Jalil dan Dalem Panuntun, semua di Maja; Pangeran Suwarga di Talaga dan yang lainnya Pangeran Muhammad, Siti Armilah, Nyai Mas Lintangsari, Wiranggalaksana, Salamuddin, Puteran Eyang Tirta, Nursalim, RH Brawinata, Ibrahim, Pangeran Karawelang, Pangeran Jakarta, Sunan Rachmat di Bantarujeg dan masih banyak lagi. Ruh perjuangan para dai itu sangat terasa mewarnai sendi kehidupan masyarakat Majalengka, seperti yang terlihat dari realitas kehidupan dan tercantum dalam Visi Majalengka tersebut. Warisan ini yang harus tertanam dalam jiwa masyarakat Majalengka, sehingga agama betul-betul menjadi jiwa, bukan hanya nama. Karena umat beragama saat ini, menghadapi “tantangan” yang terkadang membuat kekikukan dan kesulitan sekaligus keterjebakan akan romantisme kemapanan, klaim kebenaran, ketertutupan (eksklusif) diri dari kritik atas pribadi dan tradisinya sendiri. Terlebih, adanya sebagian besar umat islam, sebagai mayoritas di Majalengka, yang mengalami kegugupan mental dan intelektual menghadapi kemajuan trasformasi budaya. Semua itu yang mengakibatkan kaum Muslimin kehilangan vitalitas, daya hidup dan daya saing di tengah kehidupan yang semakin kritis, maju dan penuh tantangan. Ini terlihat dari terabaikanya problem-problem kemanusiaan serta tercerabutnya nilai spiritualitas dan nalar pembaruan dalam perubahan yang sangat cepat. Begitu pula, berhentinya ikhtiar untuk mempertemukan gagasan dan ide yang mempertemukan pemikiran yang emansipatif dan eksploratif, baik bernuansa keagamaan yang maupun kebudayaan, untuk melakukan perubahan. Atau dalam bahasa Al-Quran, “ wa yadho’u anhum ishrarahum wa al-aghlala allatiy kanat ‘alaihim, menghilangkan beban penderitaan dan belenggu kesengsaraan yang ada pada umat. ( surat Al-‘Araf ayat 157).

Dua hal diatas, kualitas kepemimpinan berbasis spiritual dan sikap keberagaman yang rahmah lil’alamin, meniscayakan masyarakat Majalengka agar segera meningkatkan kualitas kehidupan. Apalagi, seperti yang ditegaskan Bupati Majalengka Hj. Tutty Hayati Anwar, SH., M.Si. bahwa perencanaan pembangunan Tahun 2005 akan diwarnai oleh 3 (tiga) agenda strategi pembangunan Jawa Barat yaitu, pembangunan Bandara Udara Internasional yang berlokasi di Kecamatan Kertajati, pembangunan jalan tol Cileunyi - Sumedang - Dawuan (Cisumdawu) dan Cikampek - Cirebon (Cikacir) serta pembangunan waduk Jati Gede. Pembangunan bandara, yang rencananya, lebih megah daripada Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng berlokasi di Kecamatan Kertajati, Majalengka, dengan perancangan oleh konsultan dari PT Infindo Jakarta. akan memakan biaya triliunan rupiah, seharusnya mampu memicu semua pihak untuk mempersiapkan pembangunan SDM yang mampu memenuhi tantangan pasar global tanpa harus meninggalkan tataran budaya lokal yang tumbuh di daerah. Masyarakat Majalengka harus memiliki peran dalam pembangunan bandara itu. Menyangkut penyiapan sumberdaya tersebut, pemerintah daerah harus menyiapkan tataran lokal terutama dalam peran sosial maupun budaya yang dimiliki masyarakat setempat. Karenanya, karakteristik yang dimiliki masyarakat Majalengka—yang diwariskan para sesepuh terdahulu, harus dikembangkan sehingga membentuk budaya baru yang kreatif, mandiri, dan kompetitif menyambut perkembangan pasar global. Masyarakat Majalengka harus berperan sepenuhnya dalam berbagai lapangan usaha maupun pekerjaan. Antar stakeholder baik dari Majalengka maupun luar Majalengka harus terjadi shareholders yang bermitra secara aktif dan saling menguntungkan. Sehingga, warga Majalengka tidak hanya menahan air liur melihat pembangunan yang mungkin tumbuh pascapembangunan bandara. Apalagi, jangan sampai terjadi semangat holobis kuntul baris (baca: kebersamaan) masyarakat Majalengka, berubah menjadi budaya ketek sranggon (pinjam istilah Pangeran Sambernyawa), sebuah budaya main hantam dengan siapa saja, saling memfitnah dan tidak segan membunuh, meskipun satu daerah, Majalengka tercinta, na’udzubillahi min dzalik. Menurut Gubernur Jabar, Danny Setiawan, “ Pemilihan Majalengka sendiri , karena merupakan titik yang bisa dituju oleh warga Jabar dengan cepat. Apalagi menurut rencana, segera dibuat jalan tol guna mempercepat akses ke Bandara, Lazimnya sekarang ini di negara mana pun, pembangunan bandara dilakukan di daerah periferal (tepi). Untuk itu, akan dibangun jalan tol. Nantinya, dari Bandung akan bisa ditempuh dengan 30 menit. Hingga diharapkan akan bisa memacu pertumbuhan di Cirebon, Indramayu, dan Kuningan karena akan bisa mengangkut kargo udara berupa berbagai produk ekspor dari Jabar dan menopang impor “. Majalengka, merupakan daerah yang cukup adem ayem. Walau terkadang ada letupan kecil, tetapi suasana relatif kondusif. Itu menjadi modal bagi investor yang akan menggarap kekayaan Majalengka. Apalagi beberapa potensi daerah sangat menjanjikan. Di antaranya adalah industri ulat sutera yang belum tergarap dengan baik, sementara Majalengka punya lahan luas untuk pengembangbiakan ulat sutera.. Majalengkapin memiliki lahan pertanian yang cukup luas untuk mengundang investor menggarap agrowisata maupun agrobisnis di Kecamatan Sayudan, Argapura, dan Lemah Sugih, layak untuk pengembangan cabai, bawang merah, dan lainnya. Industri rotan, yang dikombinasi dengan enceng gondok dan pelepah pisang. Seni kerajinan kawat besi yang memproduksi sangkar jangkrik, lampu-lampu hias, juga telah menebar ke berbagai negara di dunia. Dan masih banyak lain.

Wa ba’du, Karenanya harus terus dijalin silaturahmi yang akan mampu mensinergikan perencanaan pembangunan, dan mewujudkan kesepakatan serta komitmen antara para pelaku pembangunan mulai Bupati dan Unsur Muspida, DPRD, unsur Perguruan Tinggi, Ormas, LSM, Organisasi Profesi, Tokoh Masyarakat dan Agama, Tokoh Pemuda, Tokoh Wanita dan Insan Pers, guna terselenggaranya pembangunan yang terpadu dan terarah dengan mengacu kepada dokumen Perencanaan Kabupaten Majalengka. Seluruh unsur masyarakat diatas, harus memaknai Hari Jadi Majalengka ke 515 yang mengambil tema “ Memantapkan Upaya Akselerasi Implementasi Visi Majalengka”, dengan terus berupaya memperlihatkan “keseriusan” untuk mendinamisir masyarakat, memberikan pendidikan politik tentang hak dan kewajiban warga negara serta memberdayakan seluruh potensi masyarakat demi kemajuan dan kesejahteraan bersama. Seluruh kebijakan harus beroreintasi pada kemaslahatan ummat “ Tasharruf al-imam manutun bi al-maslakhah” dan mengusahakan penguatan civil society , dimana kehidupan social akan terorganisir dengan dinamis dengan partisipasi public yang didasarkan pada kerelaan, keswasembadaan, ketaatan pada hukum, keswadayaan dan kemandirian. Termasuk didalamnya, kembali memaknai kehidupan beragama yang menjustifikasi adanya kewajiban dakwah , yakni bersama memperjuangkan kebenaran, melawan kebatilan dan membangun komunitas ummat atas dasar persaudaraan (al-ukhwah), kesetaraan social (al-musawah), kebaikan, keadilan (al-adalah)dan kasih sayang. Kesemuanya demi tercapainya tujuan pen-syari’atan Islam, yakni ; menjaga agama (hifdz ad-din), memelihara kehormatan atau martabat (hifdz al-ardh), melindungi harta kekayaan (hifdz al-mal), menghormati hak asasi (hifdz an-nafs) dan memberi ruang kebebasan berekspresi (hifdz al-aql).

Barakallah li Majalengka tercinta !!

Do'a: Keajaiban Mantra Ilahi

Oleh KH.Maman Imanulhaq Faqieh

Salah satu dari keistimewaan Ramadhan adalah moment pengijabahan doa. Rangkaian ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan puasa-pun(QS.Al-Baqarah:183-185) diakhiri dengan firman Allah “ maka bila hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku sangat dekat, Aku akan mengijabah doa orang yang berdo’a bila ia berdoa” . Dalam hadits Nabi disebutkan bahwa Ramadhan adalah bulan berkumpulnya segala kebaikan dan terkabulnya segala permintaan(doa). Sejarah mencatat keajaiban-keajaiban yang terjadi, saat terlepasnya hamba-hamba dari mara bahaya dan kenyataan hidup yang membuatnya tak berdaya , semua berkat rahmat Allah yang terketuk lewat panjatan doa. Kepanikan Daud saat tertekan Jalut, Kegelisahan Zakaria ketika belum dikaruniakan putra, ketakberdayaan Ibrahim ketika berada dalam kobaran api Namrudz, keterpojokan Musa di tepi laut merah saat ujung tombak Fir’aun siap merobeknya, semuanya bisa teratasi dengan keajaiban mantera Ilahi yang dipanjatkan para utusan Allah tersebut.

Disatu sisi, inilah bukti bahwa keperkasan seorang hamba, seperti para Nabi yang teruji keimanan, kesabaran dan kecerdasannya(‘ulil ‘azmi), sangat terbatas dan takberdaya tampa pertolongan Allah. Tetapi di sisi lain, ini membuktikan bahwa doa-doa yang mereka panjatkan adalah bagian penting serta selaras dengan kerja keras, ikhtiar, ketekunan dan perjuangan yang mereka lakukan. Pemaknaan doa yang hanya terbatas pada teks suci tampa perjuangan yang berarti, akan melahirkan sikap pasif, lari dari tanggung jawab sosial, dan tidak mau menanggung resiko serta takut menghadapi tantangan serta bahaya. Interpretasi doa sebagai obat penenanglah yang justru mewabah saat ini, kebanyakan manusia memilih berdoa dari pada mengerahkan kemampuan berfikir, berusaha keras, berjuang dengan serius dan tekun serta bersabar dalam memecahkan masalah serta kesulitan yang dihadapi dalam kehidupannya. Kalimat “jika ia berdo’a” dalam ayat 185 surat al-Baqarah diatas, ditafsirkan oleh sebagian mufassir dengan keseriusan memperjuangkan nilai doa dalam kehidupannya serta memenuhi syarat –syarat berdoa. Menurut Syaikh Al-Haddad, diantara syarat-syarat hamba dalam berdoa adalah ketulusan niat yang berpengaruh pada makna perbuatan, dan menghiasi diri dengan moralitas yang baik, sehingga mampu mengoptimalkan diri dalam taqarrub (mendekatkan) diri kepada Allah dengan seluruh aktivitas kehidupannya.

Doa adalah penyokong kekuatan manusia dalam melakukan usaha-usaha positif dan konstruktif sebagai bagian dari tanggung jawab individu dan sosial dalam melakukan pembebasan terhadap problem kemanusiaan. Terkabulnya sebuah doa tergantung pada keseriusan seseorang dalam berdoa. Itu dibuktikan dengan persiapan yang matang, logis, cerdas serta teguh memegang prinsip-prinsip kehidupan seperti kesetian terhadap kebenaran, keadilan, kejujuran serta kasih sayang selalu dipegangnya denga erat. Bila semua itu ditinggalkan maka jangan heran bila seorang filosof dan ilmuwan besar Perancis pemenang Nobel, Alexis Carrel, mengatakan “ manakala tanda-tanda doa dan tradisi beribadah mengalami kemerosotan dan diabaikan oleh suatu bangsa atau masyarakat, maka berarti mereka sedang mempersiapkan benih-benih dekadensi moral, disintregrasi, memudarnya identitas bangsa serta merosotnya kekuatan fisik dan sosial kemasyarakatan”. Apa yang dikatakan Alexis Carrel tersebut sangat penting dijadikan renungan(al-ibroh) bagi bangsa ini, karena kesemarakan kegiatan keagamaan, kemeriahan acara Ramadhan serta kekompakan masyarakat dalam doa-doa bersama, istighotsah maupun dzikir akbar, ternyata tidak mengurangi angka kejahatan yang bisa dilihat dengan semaraknya cara-acara yang menayngkan pelaku kriminalitas seperti Buser, Sergap dan Patroli Tidak juga merubah sikap pejabat dalam melaksanakan kebijakannya yang korup seperti kasus kebocoran keuangan Negara, termasuk penerbitan L/C BNI sebesar 1,7 triliyun. Serta tidak berpengaruh pada pembenahan sikap keberagamaan umat yang masih menyukai kekerasan, kemunafikan serta keserakahan, indikasi kearah itu terlihat dari gencarnya penyelenggaran program haji dan umrah dan banyaknya peziarah yang sekedar jadi wisatawan yang ingin tahu dan mencari suasana baru dibanding berziarah dengn penuh kerinduan dan keikhlasan. Bangsa yang kehilangan harga diri, martabat bahkan identitasnya ini, sudah saat nya untuk kembali memperbaiki etika dan tradisi berdoa serta beribadahnya agar menemukan cinta Allah.

Doa yang mengandung pengertian memohon, meminta dan memanggil Allah ini, sesungguhnya merupakan sebuah kebutuhn transenden seorang hamba dalam mengarungi kehidupan. Karenanya alangkah baiknya, bila diperhatikan etika-etika dalam berdoa serta the lesson moral yang terkandung didalamnya, diantaranya adalah:

1. Memilih moment (waktu) yang tepat dalam berdoa ; seperti hari arafah, bulan Ramadhan, malam lailah al-qodar, hari Jum’at, waktu sahur atau di tengah keheningan malam. Ini mengajarkan tentang pentingnya memanfaatkan waktu, tidak terlena dengan perbuatan yang sia-sia serta mampu mengambil moment yang tepat untuk melakukan intropeksi(muhasabah), pembenahan sikap dan meraih prestasi dalam kompetisi kehidupan global. Sekali berhenti, jumud, beku dan tidak mengambil kesempatan berharga maka selamanya akan mati, tertindas dan menyerah kalah. Mekanisme pengaruh doa akan sangat terasa bila kita melakukan usaha dan doa yang terus-menerus, intensif, tulus, agresif, sungguh-sungguh dan penuh keyakinan, Rasulullah bersabda “ mintalah kepada-Nya dengan sungguh-sungguh seperti seorang bayi yang minta sesuatu pada ibunya”.

2. Khusyu’ dan Tadharu’ dalam berdoa, hal ini berarti kerendahan hati dan kesadaran akan kelemahan diri akan melahirkan sikap lemah lembut pada sesama, mau untuk terus belajar pada yang lain serta mau mengerti keadaan orang lain. Inilah modal utama terciptanya sebuah interaksi sosial yang harmonis, seperti yang diajarkan Allah dalam surat Al-Imron 195. dalam ayat tersebut terkandung tuntunan dalam berinteraksi sosial ; Satu, anjuran bersikap lemah lembut pada sesama. Dua, larangan bermuka masam, berhati beku, berkepala batu dengan memperlihatkan sikap represip, tindakan radikal dan tidak mau dikritik. Tiga, belajarlah memahami, mengerti dan memaapkan orang lain, karena Allah tidak pernah bosan memaafkan kesembronoan kita. Empat, memohonkan ampunan Allah bagi orang yang dianggap berbuat kesalahan, serta menunjukan kesalahan dengan solusi pemecahannya. Seorang yang telah ada di tepi jurang harus diberi uluran tangan bukan dijongklokan ke dalam jurang tersebut. Terakhir, bermusyawarahlah dalam segala urusan, berdebatlah dengan jernih dan cerdas serta bergabunglah dalam dialogue of truth, karena tahkim, penghujatan, takfir dan pencekalan adalah perbuatan naïf dan bertolak belakang dengan nilai spiritualitas doa.

3. Memilih doa yang sederhana serta bersuara lembut, pemaknaan akan etika ini akan menanamkan sikap sederhana, jujur dan amanah. Kehidupannya selalu dihiasi keinginan luhur dan mulia tampa mengada-mengada apalagi penuh kepalsuan. Serta diungkapkan denga cara yang santun tidak membual apalagi menipu orang lain dengan ngumbar janji dan omong kosong. Karena bila itu dilakukan, doa-doanya akan menembus ruang hampa dan dianggap mempermainkan serta menipu Allah. Padahal “ mereka menyangka telah menipu Allah, padahal tidaklah mereka melakukan penipuan kecuali diri mereka sendiri yang tertipu dan mereka tidak merasakannya” demikian Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 9.

Menjemput Masa Depan dengan Al-Quran

Oleh KH Maman Imanulhaq Faqieh

Salah satu tujuan pendidikan adalah menumbuhkan kesadaran tentang hakikat kehidupan. Kesadaran merupakan sesuatu yang penting dimiliki para pelajar, terutama di tengah “kultur instant” dalam bingkai budaya yang kapitalistik, materialistik, konsumeristik, dan hedonistik yang terus mewabah di masyarakat. Banyak orang ingin cepat populer tanpa berusaha dan bersusah-payah, kudu sohor najan tekor. Banyak orang berusaha menjadi kaya dengan menjual narkoba bahkan negara. Mereka kebelet berkuasa meskipun dengan cara merampok dan menipu rakyat. Di tengah masyarakat ada suami yang menjual istrinya, ada istri yang menyuruh suaminya melakukan korupsi, dan ada orangtua yang “membunuh” anaknya sendiri. Kesadaran yang tumbuh dari dalam akan menghentikan proses “Pembusukan berbagai sendi kehidupan” yang diakibatkan degradasi moral.

Persoalan moral juga diperparah oleh tayangan media elektronik yang dikuasai kapitalisme global yang mengancam moralitas manusia dan eksistensi agama-agama. Itulah yang disebut Jean Baudrillard sebagai hypercapitalist mode sebagai modus kapitalisme yang sangat canggih dan tidak mudah dihadapi. Maka kita sebaiknya punya kesadaran dan tanggung jawab untuk menularkan “virus kegairahan” berkreatifitas, berproses, dan beretos kerja. Serta terus menggali kearifan-kearifan lokal yang dapat memperkaya apresiasi dan pemahaman terhadap kebudayaan bangsa sebagai pegangan dalam menghadapi budaya global saat ini. Bukankah Nabi Yunus dihukum oleh Allah dalam perut ikan paus yang gelap selama empat puluh hari lamanya (QS 21: 187) karena gagal memahami kultur umat yang menjadi obyek dakwahnya dan putus asa lalu lari dari tanggung jawab? .

Al-Quran tidak dimulai secara kronologis seperti Kitab Perjanjian Lama, atau secara genealogis seperti Kitab Perjanjian Baru, tetapi berbicara langsung soal; membaca, mengajar, memahami dan menulis. Iqra merupakan perintah kepada umat manusia sepanjang sejarah kemanusiaan sebagai kunci pembuka kebahagiaan dunyawi dan ukhrowi. Iqra, yang bermakna asal “menghimpun”, mempunyai arti menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya, tidak mengharuskan adanya satu teks yang dibaca, atau harus diucapkan sehingga terdengar oleh yang lain. Karenanya, objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau baik bacaan suci yang bersumber dari Allah (Quraniyah) maupun yang menyangkut bacaan secara umum serta penelaahan terhadap segala fenomena alam raya, masyarakat dan manusia itu sendiri. Perintah membaca dikaitkan dengan keharusan adanya keikhlasan serta kecerdasan dalam memilih dan memilah bacaan-bacaan yang mampu membentuk kepribadian yang mempunyai kekhusyuan berdzikir dan kecerdasan berfikir (QS.3: 190). Membaca adalah syarat utama membangun sebuah peradaban. Berbagai ilmu yang menjadi pilar peradaban, baik yang kasby (acquired knowledge) maupun yang laduny (perenial), tidak dapat dicapai tanpa melakukan qiroat (membaca).

Setelah melakukan pembacaan, al-Qur’an memerintahkan manusia untuk menyampaikan petunjuk, menyucikan jiwa dan mengajarkan manusia (Q.S 67:2). Aktifitas yang dimaksud dalam kandungan ayat tersebut merupakan proses pendidikan yang akan membentuk generasi robbany berdasarkan wahyu pertama yang diterima Rasulallah SAW. Inilah yang ditekankan oleh al-Qur’an yaitu, betapa pentingnya membaca dan mengajarkan apa yang dia baca tentang kebenaran dan kesabaran (Q.S al-Ashr :4). Penekanan ini berlaku seumur hidup, seperti bunyi hadits Nabi , “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat”. Ungkapan yang mendahului life long education yang dipopulerkan Paul Lengrand dalam buku An Introduction to Lifelong Education.

Al-Quran sebagai wahyu Allah mengandung pengertian pemberian Informasi secara rahasia. Hal itu hanya bisa difahami oleh Allah sebagi pemberi dan Jibril sebagai penerima. Hal inilah yang membuka peluang untuk menafsirkan al-Quran dengan ragam penafsiran, disamping dimensi kemanusiaan yang dimiliki al-Qur’an itu sendiri. Menurut Ibnu Arabi, setiap teks al-Quran memiliki tujuh tingkat pengertian yang berbeda akibat perbedaan kapasitas daya tangkap yang berbeda. Karena itu keragaman pemahaman keagamaan adalah sesuatu yang wajar dan berharga, karena merupakan cermin wajah Islam rahmatan lil’alamin yang aspiratif, inklusiv dan humanis, selama tidak menyentuh prinsip-prinsip dasar syariah. Tetapi ini tidak berarti, penafsiran liberal tanpa dasar keilmuan yang jelas serta hanya berlindung dibalik “ tradisi akademik ilmiah” boleh seenaknya menafsirkan al-Quran dengan penafsiran yang bertujuan; mengotori otentitas agama, memicu kontroversi dan hanya memamerkan kecanggihan berfikir dengan tujuan mendiskreditkan para ulama”. Bila itu dilakukan maka dianggap telah memesan satu tempat di neraka seperti sabda Nabi yang diriwayatkan Imam at-Tirmidzi yang tercantum dalam kitab Kifayah Al-ahyar karya Imam Taqiyyuddin ad-Dimasqi.

Seorang ahli Islam asal Denmark, J. Pedersen, dalam bukunya The Arabic Book, mengungkapkan betapa semangat keagamaan (ajaran Islam tentang Ilmu) telah menggerakkan kaum muslim terdahulu untuk melakukan penulisan, pendiktean dan penyalinan karya-karya tulis secara manual. Menurut beberapa ahli, dengan spirit keagamaan itulah salah seorang pengarang abad pertengahan Islam yang sangat terkenal, sejarawan Ath-Thabary, menulis empat puluh halaman perhari selama empat puluh tahun. Gairah penulisan terlihat semarak; mulai komentar-komentar tentang al-Quran, koleksi hadits, aneka ragan kesusastraan kuno, puisi, literatur sejarah, biografi-biografi, laporan perjalanan dan ditambah penerjemahan berbagai disiplin ilmu dari bahasa Yunani dan Persia yang banyak dilakukan di akademi-akademi pada zaman Khalifah Al-Mamun. Faktor terpenting yang mengkondisikan hal itu adalah faktor bahasa arab, yang merupakan bahasa al-Quran, bahasa Nabi dan bahasa ahli surga. Kalau umat Islam ingin kembali meraih kejayaan seperti masa lampau, maka tradisi membaca, mengajar, memahami dan menulis, merupakan “motor penggerak” yang harus kembali dilakukan dan ditekuni kaum muslimin. Karena hal itu merupakan amanat “wahyu pertama” yang diturunkan Allah pada Rasul-Nya di bulan suci Ramadhan dan merupakan entry poin untuk memasuki seluruh ruang serta waktu, meraksuki pola kebudayaan, mekanisme ekonomi, sistem politik dan seluruh aspek kehidupan yang berangkat dari ruh al-Quran sebagai sumber pandangan hidup, way of life.1